Wednesday 21 October 2015

(Ksatria Saptaarga, Intelektual dan Moral)

Unknown     23:02    


 Berikan kepadaku seratus orang tua akan kugoncangkan Indonesia, dan berikan kepadaku sepuluh pemuda saja akan kugoncangkan dunia (Ir.Soekarno)
Arief Budiman dalam buku Cendekiawan dan Politik (1984)menyebut mahasiswa sedikit banyak dapat digolongkan ke dalam kelompok cendekiawan atau yang dalam terminologi Rusia memakai kata inteligentsia.  Di Rusia kemunculan kata itu dihubungkan dengan adanya sikap oposisi lapisan terpelajar terhadap sistem yang berkuasa saa titu.
Definisi paling sederhana, mahasiswa diartikan sebagai seorang tamatan SMA yang kemudian melangkahkan kakinya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu
universitas.Mohammad Hatta – di dalam buku yang sama – menyebut bahwa apabila ia dulu lebih banyak menghafalkan daripada menyelidiki, sekarang ia terutama belajar mencari pengertian tentang berbagai masalah yang muncul dan mungkin muncul di dalam alam yang lahir dan alam ciptaan pikiran.
Jika ditimbang-timang secara matang, perkataan Hatta itu tidak berlebihan. Sebab, lebih lanjut Hatta mengilustrasikan bahwa lambat laun mahasiswa akan memahami perbedaan belajar dan studi, yang dalam bahasa Belanda – leren dan Studeren. Leren atau belajar,dilakukan pada sekolah menengah melalui jalan mengisi otak dengan berbagai macam pengetahuan, yang diterima dari buku dan guru dengan tiada berbantah. Sedangkan studi, orang mengerjakannya dengan mempelajari sesuatunya untuk mengerti kedudukan masalahnya, mencari pengetahuan tentang sesuatunya di dalam hubungan sebab dan akibatnya, ditinjau dari jurusan yang tertentu dan dengan metode yang tertentu pula.
Membincang mahasiswa tentu seperti mengungkap rahasia jatuhnya embun di pagi buta atau keajaiban perempuan bersayap kupu-kupu. Mahasiswa bukan semacam seekor kelinci putih yang tiba-tiba keluar secara magis dari topi pesulap. Sebab, membincang mahasiswa, berarti menengok sejarah peran mereka dalam setiap momen revolusioner di masa lalu, melihat realitas perannya di masa kini, juga memimpikan peran heroik mereka di masa yang akan datang.
Sebenarnya, kata ‘mahasiswa’ lahir di abad kemudian. Dalam sejarah bangsa kita, kata ‘mahasiswa’ diwakili oleh kata ‘kaum terpelajar’ yang sepak terjangnya diabadikan dalam sejarah panjang perebutan kemerdekaan. Tahun 1908 tanda-tanda kebangkitan nasional mulai mencuat sejak lahirnya organisasi Boedi Oetomo yang didirikan atas dasar semangat generasi muda. Tahun 1928 kaum terpelajar mencetuskan Sumpah Pemuda yang kemudian dilanjutkan dengan merebut dan mempertahankan kemerdekaan di tahun 1945.
Baru di kemudian hari, istilah mahasiswa menjadi mercusuar tonggak heroik perjuangan mahasiswa. Tahun 1966 menjadi awal gerakan mahasiswa dalam menumbangkan rezim terpimpin Soekarno. Tahun 1988 mahasiswa juga menjadi aktor utama tumbangnya rezim represif Soeharto dan menjadi jalan terbukanya kran reformasi. Walaupun sebenarnya, dalam jenjang waktu dari tahun 1966 hingga 1988 mahasiswa beberapa kali melakukan aksi demonstrasi. Namun gaungnya tidak sebesar aksi 1966 dan 1988 yang ditulis sangat mentereng dalam catatan sejarah.
Peran mahasiswa sungguh luar biasa dalam mengawal perubahan sosial-politik bangsanya. Tidak hanya di Indonesia, di Argentina – dalam tulisan Arief Budiman – kekuatan mahasiswa bisa dilihat dalam peristiwa penggulingan Juan Peron tahun 1955, tahun 1958 Perez Jimenes terjungkir di Venezuela, dan Ayub Khan yang jatuh dari kursi kekuasaannya di Pakistan tahun 1969. 
Mengambil analogi dalam dunia wayang, mahasiswa adalah seorang ksatria keturunan Saptaarga yang melakukan pertapaan. Setelah memperoleh berbagai macam ilmu dan nasihat kehidupan dari Sang Begawan, ksatria didampingi oleh pamomong setianya – Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong – turun gunung untuk mengamalkan ilmunya kepada masyarakat.
Analogi tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa tidak tercipta di ruang yang kosong. Ia berangkat dari masyarakat dan kembali ke masyarakat. Ia memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya. Keberadaanya menjadi social control dan agent of change bagi masyarakat dari segala aspeknya. Setelah melakukan pertapaan di dalam gua bernama universitas, mahasiswa dituntut mampu menjadi agen pembaharu bagi masyarakat dan tidak menjadi alat penguasa. Meminjam bahasa Julien Benda dalam bukunya Pengkhianatan Kaum Intelektual seperti yang dikutip Hatta, Orang terpelajar yang disewa oleh yang berkuasa di dunia adalah pengkhianat kepada fungsinya.
Seperti kata Hatta, tanggungjawab mahasiswa sebagai seorang akademikus adalah intelektual dan moral. Intelektual karena mahasiswa dianggap golongan yang mengetahui, moral karena masalah yang diembannya mengenai keselamatan masyarakat. Tanggung jawab ini selaras dengan wujud ilmu yaitu mencari kebenaran dan membela kebenaran.
Akhirul kalam, sebagai kaum terpelajar, mahasiswa harus mampu memperbaiki nasib bangsa. Mulai dari carut marut politik, korupsi yang mengakar tiada terputus, pengerukan SDA yang tiada henti – Freeport, tambang, hutan – dan teruma serupa Ksatria Saptaarga, mahasiswa harus kembali berdiri di tengah-tengah masyarakat untukmengamalkan ilmunya, menolong masyarakat dan memperbaiki nasib bangsa. 
Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan (Pramoedya Ananta Toer).

Penulis: Salah Satu Pengurus Cabang PMII Kota Malang Sahabat Latifiyanto, S,Ikom

0 comments :

About us

Office : Jl. Telagawarna Blok D Nomer 2 Kelurahan Telogomas Kecamatan Lowokwaru Kota Malang Jawa Timur

Salam Redaksi

Kritik dan Saran Kami Sangat Mengharpkan dari Para Kader dan Pembaca, Agar Kedepannya Isi Maupun Conten Bisa Kami Sajikan Lebih Baik
© 2011-2014 MEDIA ONLINE "Ad-dakhil". Designed by Bloggertheme9. Powered by Blogger.