Arief
Budiman dalam buku Cendekiawan dan Politik (1984)menyebut mahasiswa sedikit
banyak dapat digolongkan ke dalam kelompok cendekiawan atau yang dalam
terminologi Rusia memakai kata inteligentsia. Di Rusia kemunculan kata itu dihubungkan
dengan adanya sikap oposisi lapisan terpelajar terhadap sistem yang berkuasa
saa titu.
Definisi
paling sederhana, mahasiswa diartikan sebagai seorang tamatan SMA yang kemudian
melangkahkan kakinya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu
universitas.Mohammad
Hatta – di dalam buku yang sama – menyebut bahwa apabila ia dulu lebih banyak
menghafalkan daripada menyelidiki, sekarang ia terutama belajar mencari
pengertian tentang berbagai masalah yang muncul dan mungkin muncul di dalam
alam yang lahir dan alam ciptaan pikiran.
Jika
ditimbang-timang secara matang, perkataan Hatta itu tidak berlebihan. Sebab,
lebih lanjut Hatta mengilustrasikan bahwa lambat laun mahasiswa akan memahami
perbedaan belajar dan studi, yang dalam bahasa Belanda – leren dan Studeren. Leren atau belajar,dilakukan pada
sekolah menengah melalui jalan mengisi otak dengan berbagai macam pengetahuan,
yang diterima dari buku dan guru dengan tiada berbantah. Sedangkan studi, orang
mengerjakannya dengan mempelajari sesuatunya untuk mengerti kedudukan
masalahnya, mencari pengetahuan tentang sesuatunya di dalam hubungan sebab dan
akibatnya, ditinjau dari jurusan yang tertentu dan dengan metode yang tertentu
pula.
Membincang
mahasiswa tentu seperti mengungkap rahasia jatuhnya embun di pagi buta atau
keajaiban perempuan bersayap kupu-kupu. Mahasiswa bukan semacam seekor kelinci
putih yang tiba-tiba keluar secara magis dari topi pesulap. Sebab, membincang
mahasiswa, berarti menengok sejarah peran mereka dalam setiap momen
revolusioner di masa lalu, melihat realitas perannya di masa kini, juga
memimpikan peran heroik mereka di masa yang akan datang.
Sebenarnya,
kata ‘mahasiswa’ lahir di abad kemudian. Dalam sejarah bangsa kita, kata
‘mahasiswa’ diwakili oleh kata ‘kaum terpelajar’ yang sepak terjangnya
diabadikan dalam sejarah panjang perebutan kemerdekaan. Tahun 1908 tanda-tanda
kebangkitan nasional mulai mencuat sejak lahirnya organisasi Boedi Oetomo yang
didirikan atas dasar semangat generasi muda. Tahun 1928 kaum terpelajar
mencetuskan Sumpah Pemuda yang kemudian dilanjutkan dengan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan di tahun 1945.
Baru
di kemudian hari, istilah mahasiswa menjadi mercusuar tonggak heroik perjuangan
mahasiswa. Tahun 1966 menjadi awal gerakan mahasiswa dalam menumbangkan rezim terpimpin
Soekarno. Tahun 1988 mahasiswa juga menjadi aktor utama tumbangnya rezim
represif Soeharto dan menjadi jalan terbukanya kran reformasi. Walaupun
sebenarnya, dalam jenjang waktu dari tahun 1966 hingga 1988 mahasiswa beberapa
kali melakukan aksi demonstrasi. Namun gaungnya tidak sebesar aksi 1966 dan
1988 yang ditulis sangat mentereng dalam catatan sejarah.
Peran
mahasiswa sungguh luar biasa dalam mengawal perubahan sosial-politik bangsanya.
Tidak hanya di Indonesia, di Argentina – dalam tulisan Arief Budiman – kekuatan
mahasiswa bisa dilihat dalam peristiwa penggulingan Juan Peron tahun 1955,
tahun 1958 Perez Jimenes terjungkir di Venezuela, dan Ayub Khan yang jatuh dari
kursi kekuasaannya di Pakistan tahun 1969.
Mengambil
analogi dalam dunia wayang, mahasiswa adalah seorang ksatria keturunan
Saptaarga yang melakukan pertapaan. Setelah memperoleh berbagai macam ilmu dan
nasihat kehidupan dari Sang Begawan, ksatria didampingi
oleh pamomong setianya – Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong – turun gunung untuk
mengamalkan ilmunya kepada masyarakat.
Analogi
tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa tidak tercipta di ruang yang kosong. Ia
berangkat dari masyarakat dan kembali ke masyarakat. Ia memiliki tanggung jawab
terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya. Keberadaanya menjadi social control dan agent of change bagi masyarakat dari segala aspeknya. Setelah
melakukan pertapaan di dalam gua bernama universitas, mahasiswa dituntut mampu
menjadi agen pembaharu bagi masyarakat dan tidak menjadi alat penguasa. Meminjam
bahasa Julien Benda dalam bukunya Pengkhianatan Kaum Intelektual seperti yang
dikutip Hatta, Orang terpelajar yang
disewa oleh yang berkuasa di dunia adalah pengkhianat kepada fungsinya.
Seperti
kata Hatta, tanggungjawab mahasiswa sebagai seorang akademikus adalah
intelektual dan moral. Intelektual karena mahasiswa dianggap golongan yang
mengetahui, moral karena masalah yang diembannya mengenai keselamatan
masyarakat. Tanggung jawab ini selaras dengan wujud ilmu yaitu mencari
kebenaran dan membela kebenaran.
Akhirul kalam,
sebagai kaum terpelajar, mahasiswa harus mampu memperbaiki nasib bangsa. Mulai
dari carut marut politik, korupsi yang mengakar tiada terputus, pengerukan SDA
yang tiada henti – Freeport, tambang, hutan – dan teruma serupa Ksatria
Saptaarga, mahasiswa harus kembali berdiri di tengah-tengah masyarakat untukmengamalkan
ilmunya, menolong masyarakat dan memperbaiki nasib bangsa.
Seorang
terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan
(Pramoedya Ananta Toer).
Penulis: Salah Satu Pengurus Cabang PMII Kota Malang Sahabat Latifiyanto, S,Ikom
0 comments :